Selamat Datang di www.pengingatku.blogspot.com

Sunday 23 October 2016

MEMOTRET PEMBANGUNAN PENDIDIKAN INDONESIA

Mereka yang Terpinggirkan: Mewujudkan Akses Pendidikan yang Luas, Merata, dan Berkeadilan
 
“Bila Anda membuat rencana untuk satu tahun, tanamlah padi. Jika Anda membuat rencana untuk sepuluh tahun, tanamlah pohon. Bila Anda membuat rencana untuk seumur hidup, didiklah orang-orang” (Peribahasa China)
Tak ada masalah yang lebih besar dan mendesak untuk diatasi selain masalah pemerataan pendidikan. Sebagai negara besar, upaya pemerataan pendidikan memang menjadi momok tersendiri yang sulit diatasi. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan tahun 2013 tentang Angka Partisipasi Murni (APM) Pendidikan Indonesia diketahui bahwa  APM anak usia 7—12 tahun (93,30%), usia 13-15 tahun (76,55%), usia 16-18 tahun (55,88%), dan usia 19-23 (29,15%). Data tersebut jelas menunjukkan bahwa keterbatasan akses telah membuat pendidikan kita masih belum merata sehingga belum dapat dinikmati oleh semua anak bangsa. Padahal pendidikan adalah investasi masa depan yang sangat berharga. Melalui pendidikan, akan tercipta insan-insan cerdas dan tangguh sebagai generasi penerus Pancasila. Negara dapat maju dan dapat pula hancur karena pendidikannya.
(Dok. Pribadi: Siswa SMPN 4 Rantau Panjang sedang belajar mengaji)
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang adil dan layak. Amanat tersebut kemudian menjadi tanggung jawab pemerintah guna mewujudkannya. Salah satu bentuknya adalah penyediaan anggaran 20% dari APBN. Melalui penyediaan anggaran yang besar, pemerintah serius meningkatkan pembangunan pendidikan melalui pemerataan dan perluasan akses pendidikan serta peningkatan mutu dan relevansi pendidikan di semua wilayah. Dalam hal pemerataan dan perluasan akses pendidikan, pemerintah secara berkesinambungan melakukan pembangunan gedung-gedung sekolah baru, rahab gedung yang rusak, ataupun menyediakan sarana/prasarana guna mendukung pemberian layanan minimal pendidikan di sekolah.
Mereka yang Terpinggirkan
Mudah sekali kita temui sekolah-sekolah yang sangat miris kondisinya. Gedung-gedung nyaris roboh, dinding yang retak, atap yang bocor, dan sarana/prasarana yang minim dapat ditemui di hampir setiap sekolah yang ada di pelosok kabupaten/kota di seluruh tanah air. Belum lagi di daerah-daerah tertentu terutama daerah perbatasan, terluar, dan terpencil—akses pendidikan bahkan masih belum ada sama sekali sehingga banyak anak bangsa yang terpaksa tidak dapat duduk di bangku sekolah. Ironisnya, kondisi sedemikian justru tidak ditemui di sekolah-sekolah yang notabenenya berada di pusat kota. Selain gedung-gendung yang megah, rombel yang lengkap, fasilitas sarana dan prasarananya pun mencukupi. Telah terjadi kesenjangan akses pendidikan antara di kota dan di desa. Pembangunan akses pendidikan masih tersentra di pusat kota, sedangkan di ujung pelosok kota/desa alih-alih di daerah perbatasan, terluar, dan terpencil seolah-olah masih dipandang sebelah mata. Jika demikian, bagaimana mungkin akses pendidikan yang seluas-luasnya, merata, dan berkeadilan dapat terwujud?
(Sekolah Nyaris Roboh http://hariantangerang.com/news/2014/08/nyaris-roboh-kondisi-sdn-cijawa-serang-memprihatinkan)
 
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan mengetahui dan sadar betul akan kesenjangan pendidikan itu. Lalu mengapa kondisi sedemikian masih belum teratasi? Padahal anggaran yang disediakan sudah sedemikian besarnya. Tentu saja ada banyak faktor penyebab sehingga walaupun anggaran yang disediakan sudah sebegitu besar, toh nyatanya penyediaan akses pendidikan masih belum merata.
Beberapa Faktor Penyebab
Apa yang sebenarnya terjadi? Setiap tahun, pemerintah sendiri selalu menganggarkan dana guna membangun akses pendidikan. Tak hanya itu, peningkatan kualitas pendidikan juga terus dilakukan, seperti penyediaan sarana/prasarana dan perbaikan mutu guru. Ada banyak faktor penyebab gagalnya pemerintah dalam upaya membangun akses pendidikan yang luas, merata, dan berkeadilan.
Pertama: Beban Pemerintah Pusat dan Bukan Pemerintah Daerah.
 
Ilustrasi: Beban Pemerintah Pusat dan Daerah
 
Pembangunan akses pendidikan sebenarnya bukan hanya menjadi tanggung jawab pusat akan tetapi juga tanggung jawab pemerintah daerah. Faktanya? Selama ini, pembangunan akses pendidikan seolah-olah hanya beban pemerintah pusat saja. Sedangkan pemerintah daerah masih kurang aktif mendukung kebijakan pemerintah pusat itu. Padahal tugas menyediakan akses pendidikan yang luas dan merata adalah kewajiban bersama. Namun, pemerintah daerah bergeming dan seolah tidak memiliki tanggung jawab. Hal itu terbukti dari sedikitnya pemerintah daerah yang menyediakan sebagian besar anggarannya guna pembangunan akses pendidikan.
Untuk itu, perlu adanya koordinasi intensif antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Perlu ada kesepakatan yang jelas mengenai komitmen untuk bersama membangun akses pendidikan yang luas, merata, dan berkeadilan tersebut sebab tanpa dukungan dan bantuan pemerintah daerah, sangat sulit mewujudkannya. Bila memungkinkan perlu dipertimbangkan pemberian reward dan punnishment bagi daerah yang tidak mau menyediakan dana besar untuk mendukung program pemerintah pusat tersebut.
 
(Ilustrasi: Reward dan Punnishment http://ma-maha.blogspot.co.id/2016/04/reward-dan-punishment-dalam-pembentukan.html)
 
Kedua: Pembangunan yang Kurang Tepat Sasaran.
 
Setiap tahunnya pemerintah pusat melalui anggaran yang tersedia memberikan kucuran dana guna pembangunan gedung sekolah baru, rehab, ataupun penyediaan sarana/prasarana. Dana tersebut diberikan langsung kepada sekolah-sekolah yang dianggap perlu. Sayangnya, penggunaan anggaran tersebut banyak yang kurang tepat sasaran.
(Ilustrasi: Ketimpangan Pembangunan http://www.bangsaonline.com/berita/17718/tidak-tepat-sasaran-anak-anggota-dewan-di-jember-dapat-bsm)
 
Bukan rahasia umum bahwa dana yang disediakan pemerintah justru hanya dinikmati oleh sekolah-sekolah tertentu saja. Padahal sekolah tersebut sudah memiliki gedung yang bagus, rombel yang lengkap, dan sarpras yang memadai. Sangat memillukan, di saat banyak gedung sekolah yang nyaris roboh, pemerintah justru sibuk membagusi sekolah yang kondisinya sudah bagus. Sangat ironis, di saat banyak anak bangsa yang harus putus sekolah lantaran tidak ada akses sekolah di dekat tempat tinggalnya, pemerintah justru merobohkan gedung sekolah yang sudah ada lalu mendirikan gedung sekolah yang baru.
Pembangunan yang kurang tepat sasaran sebenarnya terjadi karena pemerintah pusat kurang selektif dalam memilah sekolah mana yang layak mendapatkan bantuan dana. Segala ajuan dari pemerintah daerah diterima mentah-mentah tanpa melakukan kroscek apakah sekolah yang diajukan itu benar-benar layak atau tidak. Seharusnya pemerintah pandai dalam memprioritaskan pembanguan akses pendidikan. Alhasil, tidak mengejutkan jika terjadi ketimpangan pembangunan akses pendidikan seperti yang dirasakan saat ini.
Ketiga: Praktik Korupsi.
Ilustrasi: Uang Banyak
Korupsi benar-benar telah menjangkiti berbagai elemen termasuk pendidikan. Dana yang besar lenyap dikarenakan oknum yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya, dana yang ada seolah-olah tidak mencukupi padahal jika jujur, anggaran 20% tentulah sudah cukup guna menyediakan akses pendidikan yang luas, merata, dan berkeadilan.
Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), misalnya. BOS diberikan oleh pemerintah pusat kepada sekolah dengan tujuan agar sekolah dapat menyelenggarakan pendidikan gratis dan berkualitas. Jumlahnya mencapai triliunan rupiah. Akan tetapi, sangat disayangkan hampir kebanyakan di sekolah-sekolah, dana BOS justru disalahgunakan—bukannya diperuntukkan guna pembangunan akses pendidikan yang berkualitas tetapi justru dijadikan alat untuk menambah pundi-pundi harta segolongan tertentu.
Beberapa Solusi
Untuk mempercepat pembangunan akses pendidikan agar dapat dinikmati oleh semua anak usia sekolah mulai dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah, sudah seyogyanya pemerintah sebagai lembaga yang berwenang memikirkan solusinya. Salah satu kesuksesan pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan bagi anak usia jenjang sekolah dasar adalah dengan menetapkan program wajib belajar sembilan tahun. Melalui program tersebut, terbukti efektif meningkatkan angka partisipasi anak usia sekolah.
Kini, pemerintah telah memperluas program wajib belajar sembilan tahun tersebut menjadi program wajib belajar 12 tahun. Tujuannya tak lain adalah meningkatnya akses pendidikan bagi anak jenjang sekolah menengah. Untuk menjamin terselenggaranya program tersebut, pemerintah bahkan telah menganggarkan bantuan operasional sekolah (BOS) yang jumlahnya cukup besar. Namun sangat disayangkan, di banyak daerah, program wajib belajar 12 tahun ini masih menemui kendala. Salah satunya adalah masalah mahalnya biaya pendidikan sekolah menengah. Akibatnya, walaupun telah ada dana BOS, sekolah tetap saja memungut bayaran yang jumlahnya cukup besar dan hal itu tentu sangat memberatkan siswa terutama bagi yang tidak mampu. Untuk itu, perlu ada monitoring sistematik dari pemerintah agar program wajib belajar 12 tahun dapat terlaksana sesuai harapan.
 
(Ilustrasi: Anak Bangsa Harus Sekolah http://internalpublik.com/kurang-profesionalisme-hingga-kip-di-malinau-masih-belum-tepat-sasaran/)
 
 
Perlu juga dilakukan pengembangan teknologi terutama teknologi pembelajaran jarak jauh. Saat ini Kementerian Pendidikan sendiri telah memiliki layanan pendidikan berupa TV-Edukasi sebagai upaya pemerataan akses pendidikan secara luas dan berkualitas kepada seluruh masyarakat. TV Edukasi ini tentunya memang sangat bermanfaat sebab dapat diakses kapan saja dan dimana saja. Selain itu, Kemdikbud juga telah mengembangkan berbagai portal yang dapat diakses secara mandiri, seperti portal rumah belajar dan portal mobile edukasi. Konten-konten pendidikan yang tersedia di dalamnya sangat variatif dan efektif meningkatkan wawasan siswa.
Pada akhirnya, kiranya pemerintah pusat perlu bersinergi dengan pemerintah daerah dan stake holder lainnya guna memikirkan solusi pembangunan akses pendidikan ini. Menyatukan langkah demi mewujudkan akses pendidikan yang luas, merata, dan berkeadilan. Masalah pendidikan adalah masalah kita semua. Anak bangsa adalah generasi emas yang akan meneruskan perjuangan kita—nanti!

5 comments:

  1. Selamat ya mas, telah memenangkan juara III GPR Blog Competition. Semoga artikelnya bermanfaat bagi masyarakat luas dan dapat mengetuk hati pemerintah untuk melakukan pembangunan yang merata di seluruh Indonesia

    ReplyDelete
  2. Congratulation kak , sudah menjadi Juara 3 GPR Blog Competion :-)
    Terus menginspirasi yak kak , dalam hal menulis :-)

    ReplyDelete

Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!